Jumat, 09 Januari 2009

chapitre 2 : bokutachi no memories

Sore itu, Hayashibara Mikan mendapat giliran piket kelas. Namun, teman-temannya yang seharusnya tugas malah tidak ada. Beberapa ada yang pulang dan beberapa lagi tak jelas kabarnya. Tapi, karena Mikan tak ingin diomeli guru, akhirnya dia memutuskan untuk mengerjakan piket sendirian.
Mikan baru saja akan mennyimpan kursi yang sudah reyot di gudang belakang saat dia merasa ada seseorang yang mengamatinya. Dia melihat ke sekeliling, memeriksa apa ada orang di sana. Tidak ada siapapun. Mikan mengedikkan bahu dan melanjutkan pekerjaannya.
"Hei, kau rajin juga ya," kata sebuah suara.
"Yang lain itu tidak rajin, makanya aku terlihat rajin," jawab Mikan sekenanya.
Beberapa saat kemudian, dia baru sadar, dengan siapakah dia berbicara? Saat Mikan berbalik, dia melihat ada seorang pemuda berdiri di belakangnya. Yang aneh, pemuda itu seperti tengah melayang. Mikan melirik ke bawah, dan ternyata pemuda itu memang tidak berkaki. Dia hantu!
"Sedang apa kau di sini?" tanya Mikan dengan tenangnya. Hantu pemuda tadi terkejut melihat reaksi Mikan yang terlihat seperti sudah biasa dengan hantu dan semacamnya.
"Kau, tidak takut hantu?" tanya si pemuda hantu tadi.
"AKu tinggal di kuil, masalah mengusir hantu sudah makanan sehari-hari. Mau coba?" tantang Mikan mengacungkan batang pipa yang entah bagaimana ada di gudang itu.
"Ah! Jangan dulu! Kau tidak ingin tahu kenapa aku masih ada di dunia ini?" tanya hantu itu.
"Untuk apa?" tanya Mikan lagi, siap membaca mantra.
"Aku masih punya ganjalan, makanya tidak bisa kembali ke alam sana! Mau kan kau membantuku supaya aku bisa tenang?" pinta hantu itu. Ini kali pertamanya Mikan dimintai tolong oleh hantu yang terjebak di dunia ini. Biasanya sih setelah si hantu itu mengacau sedikit langsung Mikan hilangkan, tapi kali ini berbeda.
"Membantu apa?" Mikan menurunkan pipanya.
Tiba-tiba, raut wajah hantu itu berubah, dan dia melesat secepat angin memasuki tubuh Mikan. Mikan kaget karenanya.
"Hei! Kau ini! Kenapa malah merasukiku! Cepat keluar sana!" perintah Mikan.
"Nanti, setelah semua ganjalan di hatiku hilang, baru aku mau keluar dari tubuhmu," jawab hantu itu.
"Ah, malas sekali! Cepat keluar, atau aku tarik dengan paksa!" Sebenarnya Mikan hanya menggertak. Ilmunya belum sampai untuk mengusir keluar hantu yang merasuki manusia.
"Ayolah, bantu aku. Setelah ini aku janji akan pergi ke dunia sana. Kalau kau mau membantuku, nanti aku akan membantumu juga, apa saja," tawar hantu itu.
Mikan berpikir. Ini pengalaman pertamanya dirasuki hantu seperti ini. Geli rasanya mengetahui ada jiwa lain dalam tubuh sendiri. Selain itu, Mikan yang pada dasarnya suka menolong, merasa tidak bisa membiarkan hantu itu tetap berkeliaran dan membuat ruang musik ini seperti angker.
"Baiklah. Tapi kau harus membantuku dan kalau sudah selesai langsung pulang ya," ujarnya.
"Siaap! Oh ya, namaku Kazuya. Kau?"
"Mikan. Hayashibara Mikan."
"Salam kenal, Micchan."
***
Keesokan paginya..
"Micchan.. Bangun, Micchan.. Nanti terlambat."
Suara itu membuat kelopak mata Mikan terbuka. Dari sela gorden yang tidak terutup rapat, dia melihat mentari belum sempat muncul. Dia heran, siapa yang membangunkannya sepagi ini.
Dengan segera Mikan teringat akan Kazuya si hantu yang merasukinya. Itu pasti suaranya!
"Kazuya!" seru Mikan. Arwah penasaran itu sedang santai-santainya berkeliling kamar Mikan sambil melayang.
"Akhirnya bangun juga. Ayo, cepat turun dari sana dan beres-beres lalu siapkan bento! Ayo, cepat," perintah Kazuya.
"Seenaknya saja kau menyuruh. Sudah, jangan ganggu aku sampai waktunya aku bangun!" sahut Mikan yang menghempaskan wajahnya di bantal. Kazuya hanya cemberut, tapi dia tak mengganggu Mikan lagi setelahnya.
***
Sudah seminggu sejak Kazuya merasuki Mikan. Banyak yang mereka sudah lakukan, seperti bermain di taman bersama anak-anak TK yang baru pulang, membeli es krim tiga tingkat, dan lain sebagainya. Rata-rata membuat Mikan capek sendiri.
"Micchan, minggu ini kau harus kosongkan jadwalmu," kata Kazuya di tengah perjalanan Mikan menuju sekolah. Walau Mikan bisa melihatnya, tak perlu khawatir Kazuya akan mengejutkan semua orang.
"Memangnya mau apa?" tanya Mikan perlahan, takut disangka gila karena bicara sendiri.
"Ada satu tempat yang belum pernah aku datangi sampai waktunya aku mati. Aku ingin pergi ke sana," ujar Kazuya.
"Tempat apa?" tanya Mikan.
"Itu," Kazuya menunjuk suatu poster yang tertempel di dinding sebuah toko. Taman ria.
"Kau menyuruhku ke taman ria?" tanya Mikan setengah tak percaya. Bukan kenapa-napa, tapi itu artinya Mikan akan 'nge-date' dengan hantu!
"Kau sudah janji akan membantuku kan? Kau boleh mengajak orang lain kalau kau tak suka pergi sendirian, eh, berdua hanya denganku," tambah Kazuya.
"Minggu ini, aku tidak janji. Kau jangan menuntut tapinya," kata Mikan setelah berpikir sejenak. Kazuya mengangguk dan tersenyum lebar.
Seseorang menepuk bahu Mikan dari belakang. Mikan menoleh karena merasa dipanggil, sedangkan Kazuya menoleh karena tangan yang tadi menepuk itu menembus tubuhnya yang transparan.
"Eh, Naoto, selamat pagi," sapa Mikan pada teman sekelasnya itu.
"Pagi juga. Kau bicara dengan siapa?" tanya Naoto. Ternyata dia mendengar pembicaraan Mikan dan Kazuya.
"Tidak, bukan siapa-siapa, aku hanya bicara sendiri," sangkal Mikan. Naoto mengangguk.
"Bagaimana persiapan festival kebudayaannya? Kalian sudah menemukan temanya?" ujar Mikan. Naoto itu sekretaris Seitokai, dewan siswa SMA Seisou dan yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan festival di SMA ini.
"Masih dalam tahap menyusun konsep. Semoga saja festival kali ini bisa sukses besar. Kaichou mengusulkan dua orang untuk bermain piano di acara puncaknya. Katanya keduanya teman sekelasnya dan juga pianis jenius. Pasti menarik," jawab Naoto.
"Begitu ya. Aku sudah tidak sabar. Ngomong-ngomong, yang tadi itu bel ya?" tanya Mikan. Benar saja, bel masuk berdering keras, memanggil semua siswa SMA Seisou yang masih dalam perjalanan untuk mempercepat langkah mereka. Mikan dan Naoto berlari berpacu dengan waktu.
***
Sampai waktu pulang sekolah, Mikan merasa ada yang aneh. Sejak tadi Kazuya tidak berkicau. Tepatnya sejak Naoto bertemu dan ngobrol seru dengan Mikan pagi tadi. Bahkan saat Mikan sedang makan di waktu istirahat, Kazuya tetap tenang, berbeda dengan semalam, saat dia mengancam akan muncul di hadapan orangtuanya di tengah makan malam (Mikan tak menganggap itu ancaman dan tidak mengacuhkannya). Mikan jadi heran dengan perilaku Kazuya hari ini.
"Kazu, kenapa kau hanya diam sejak tadi? Sudah hilang ya?" tanya Mikan.
"Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku mengobrol dengan temanku seperti tadi," jawabnya. Mikan mengerti, dan sayangnya dia tak punya kata-kata bagus untuk menghibur arwah itu.
"Kalau aku boleh tahu, kau mati kapan dan kenapa?"
"Entahlah, aku tak ingat," jawab arwah itu.
"Baiklah, jangan paksakan dirimu. Soal hari Minggu nanti, aku benar-benar boleh mengajak orang lain?" tanya Mikan.
"Iya, boleh saja, aku tak keberatan. Asalkan Micchan menepati janjimu, aku sudah senang," ujar Kazuya.
***
Wajah Mikan yang cemberut kontras dengan cuaca hari ini yang begitu cerah. Semua orang, tepatnya tiga orang, yang dimintai Mikan untuk menemaninya ke taman ria demi memenuhi permintaan si hantu Kazuya, membatalkan janji mereka mendadak. Ada yang harus menjenguk kakeknya, ada yang punya janji dengan dokter sejak dua minggu lalu, dan ada juga yang tiba-tiba sakit perut. Jadilah Mikan harus pergi sendiri secara fisik.
"Sudahlah, Micchan, kalau kau memang tidak mau, kita bisa pergi lain kali," kata Kazuya di tengah perjalanan mereka menuju taman ria.
"Tidak bisa, aku sudah berjanji padamu," jawab gadis itu. Kazuya tersenyum senang karena Mikan berpegang pada janjinya, lalu merentangkan tangan transparannya untuk memeluk Mikan.
"Micchan baik sekali! Aku suka Micchan!" pekiknya girang. Mikan menghalau Kazuya dengan mengibaskan tangannya, tapi hantu itu dengan gesitnya berkelit.
Taman ria kecil itu tidak terlalu ramai, walaupun sekarang hari Minggu. Mikan mengikuti perintah Kazuya yang berteriak dari dalam dirinya menaiki wahana apapun yang hantu itu inginkan. Mikan bahkan harus berjuang saat Kazuya memintanya menaiki roller coaster untuk yang ketiga kalinya.
Dengan kaki yang pegal, kepala yang puyeng dan perut yang mual, Mikan meregangkan tubuhnya sambil duduk di bangku.
"Micchan, kita naik itu yuk!" seru Kazuya.
"Kazu, aku capek sekali. Kau sih enak, tinggal diam di tubuhku dan tidak merasakan betapa capeknya semua ototku," protes Mikan. Kazuya jadi merasa tidak enak.
"Maaf ya Micchan."
"Tak apa."
Kazuya mengamati sekelilingnya. Dia melihat ada tempat adu ketangkasan.
"Seandainya sekarang aku masih hidup, aku pasti akan memberikan salah satu dari boneka-boneka itu untukmu sebagai permintan maaf," ujarnya. Mikan melihat tempat adu ketangkasan itu dan mengerti maksud Kazuya.
"Kuterima niat baikmu. Sebenarnya, Kazu bisa saja melakukannya," kata Mikan.
"Jangan bercanda, aku kan sudah tidak punya tubuh lagi," kata Kazuya.
"Kau kan bisa menggunakan tubuhku, ayo," Mikan berlari menuju tempat adu ketangkasan itu. Kazuya bingung.
"Kau tinggal memberiku instruksi dan aku akan mengerjakan sesuai dengan yang kau katakan," ujar Mikan mantap dengan bola di tangan.
"Baiklah. Santai saja. Tetapkan satu titik sebagai sasaranmu, lalu saat melempar, putar pergelangan tanganmu untuk merotasi bola ke arah yang kau mau," jelas Kazuya. Mikan melakukan semuanya dengan baik, dan, praak! Semua kaleng itu jatuh berguling-guling. Di dua kesempatan lainnya juga hasilnya serupa. Mikan mendapat sebuah boneka teddy bear putih besar sebagai hadiahnya.
"Pemberianku!!" sahut Kazuya girang.
"Kunamai Kazuya juga ah," celetuk Mikan.
"Micchan, sebelum pulang kita naik itu yuk," jari tembus pandang Kazuya menunjuk ke arah kincir raksasa.
"Baiklah."
Mikan yang naik sendirian bersama boneka beruangnya sempat ditanyai oleh pengawas wahana kincir raksasa itu. Di dalam, Mikan meletakkan boneka beruang barunya di kursi di hadapannya. Mentari yang tak terlalu menyengat membuat pemandangan kota entah bagaimana jadi lebih indah.
"Capek juga ya, hari ini. Ngomong-ngomong, kok kau tahu cara melempar bola yang baik seperti tadi? Kau ikut klub apa?" tanya Mikan.
"Entahlah, pengetahuan itu ada di kepalaku begitu saja. Aku sendiri tidak ingat."
"Oh, begitu ya. Tapi, hebat sekali kau. Terima kasih banyak untuk bonekanya," ujar Mikan.
"Yang seharusnya berterima kasih itu aku, Micchan. Terima kasih banyak karena sudah mau menemaniku yang egois ini," suara Kazuya terdengar dari dalam boneka beruang itu.
"Bukan masalah. Aku juga merasa senang kok, jadi kita impas," kata Mikan pada beruang itu.
***
"Aku pulang!" seru Mikan saat dia tiba di rumah. Baru saja dia meletakkan boneka beruangnya di atas kasur, Kazuya mengatakan sesuatu.
"Micchan, sepertinya aku tahu apa yang menjadi ganjalan bagiku untuk pergi ke dunia sana," katanya.
"Apa?" tanya Mikan.
"Ada di sekolah. Di gudang belakang tempat kita bertemu," jawab arwah itu. Mikan keluar lagi dari rumah, menuju SMA Seisou.
***
Di sekolah ternyata masih ada orang, anggota klub baseball yang sedang berlatih tepatnya. Saat melewati lapangan, arwah Kazuya berhenti sejenak, memandangi field.
"Ada apa?" tanya Mikan.
"Aku ingat, aku dulu anggota klub baseball juga," kata Kazuya sambil menatap setiap orang yang ada di field.
Mikan juga melakukan hal yang sama. Ada seorang pemain yang melihat kehadiran Mikan, lalu mencari temannya dan berbisik-bisik. Mikan merasa aneh.
"Mereka kenapa? Sepertinya sedang membicarakan aku," kata Mikan.
"Mungkin karena kau manis jadi mereka tertarik," jawab Kazuya asal.
***
"Jadi, benda apa itu?" tanya Mikan setelah mereka sampai di gudang belakang.
"Nanti kau akan segera tahu. Tapi sebelumnya, aku ingin mengatakan kalau aku merasa senang dengan semua hal yang kita jalani bersama dalam waktu yang sangat singkat ini. Aku bersyukur karena bertemu denganmu," kata Kazuya. Mikan menyadari kalau tubuh Kazuya perlahan-lahan menghilang.
"Kazu! Tubuhmu!"
"Ya, karena ganjalan di hatiku sudah hilang, aku juga akan segera kembali ke alam sana. Satu hal yang kau harus tahu, aku menyayangimu, Mikan."
Itu pertama kalinya Kazuya memanggil Mikan dengan namanya. Mata Mikan mulai berkaca-kaca.
"Aku juga," kata Mikan.
"Terima kasih untuk semuanya. Selamat tinggal." Dan Kazuya menghilang, meninggalkan Mikan sendirian di gudang belakang. Mikan tak menyangka bahwa pertemuannya dengan Kazuya sesingkat itu.
Saat akan berbalik pulang, Mikan melihat ada sepucuk surat di kolong meja. Entah mengapa, tapi dia mengambilnya dan melihat namanya tertera di sana. Saat Mikan memeriksa siapa penulisnya, dia kaget melihat nama di balik amplop putih itu.
Mikan berlari ke lapangan baseball, mencari salah satu anggotanya. Yang dia temui adalah orang yang tadi berbisik-bisik dengan temannya setelah melihat dirinya.
"Kau kenal dengan yang namanya Kazuya?" tanya Mikan terburu-buru.
"Igarashi Kazuya? Iya, dia dulu anggota kami," jawabnya.
"Dulu?"
"Sampai dua minggu yang lalu, tepatnya, sebelum dia mengalami kecelakaan dan tewas."
Mikan terhenyak mengetahui kenyataan itu. Kazuya memang tidak pernah menceritakan bagaimana dia tewas.
"Lalu, apa kau tahu mengenai surat ini?" Mikan mengacungkan surat yang tadi dia temukan.
"Itu ditulis oleh Igarashi sebelum dia tewas. Katanya dia ingin memberikan itu pada gadis yang disukainya, padamu."
Mikan tak tahu harus bicara apa. Ternyata, Kazuya punya perasaan seperti itu padanya. Mikan bingung, apakah pertemuan mereka tak disengaja oleh takdir, atau memang Kazuya terus menanti Mikan di sana bersama suratnya? Kenapa saat mereka bersama, Kazuya tidak mengatakan perasaannya padanya secara langsung? Dengan membendung emosi yang berkecamuk dalam dirinya, Mikan berlari pulang.
***
Mikan membuka pintu kamarnya, melihat boneka beruang putih di atas kasurnya duduk manis bagaikan menyambutnya. Dengan langkah gontai, Mikan meraih beruang putih yang lembut itu dan memeluknya hangat.
"Kazuya, aku menyayangimu.."

Rabu, 10 Desember 2008

chapitre 1 :: bokutachi no piano

Bel tanda masuk sudah berbunyi. Semua siswa SMA Seisou mempercepat langkahnya agar tidak terlambat. Di antara mereka semua, ada seorang gadis yang tengah menaiki sepeda tua membunyikan bel sepedanya berkali-kali sambil berteriak meminta tolong. Rupanya rem sepedanya blong dan dia tak bisa mengendalikannya.
Sementara itu, di ujung jalan sana, ada seorang pemuda yang berjalan tanpa menyadari bahaya di belakangnya.
Brak! Bersamaan dengan suara itu, gadis yang naik sepeda tadi bersama pemuda yang berjalan itu terpental. Si pemuda mengelus-elus tubuhnya yang terbentur sana-sini.
"Maaf!" ujar sebuah suara. Ternyata itu suara gadis yang tadi. Dia mengenakan seragam yang kelihatannya didesain khusus oleh perancang, berbeda dengan seragam SMA Seisou.
"Kau tak apa-apa? Maaf ya, aku tidak bermaksud menabrakmu," ujar gadis itu sambil menyerahkan saputangannya pada pemuda tadi yang menerimanya dengan tangan yang sedikit memar.
"Aku baik-baik saja, kau sendiri?" tanya pemuda itu.
"Aku juga tak apa-apa," jawabnya. Tapi pemuda itu tak bisa ditipu. Lengan dan tangan gadis itu terluka, bahkan ada yang mengucurkan darah. Namun gadis itu hanya tersenyum dan tidak merasakan sakit.
"Kamu ikut aku," pemuda itu dengan cepat menarik tangan gadis itu dan membawanya menerobos kerumunan orang menuju ruang kesehatan.
***
"Maaf Sensei, sepagi ini sudah mengganggu," ujar pemuda itu saat menunggui gadis itu selesai diobati.
"Tak masalah, Segawa-kun. Memang sudah tugasku. Lagipula, aku beruntung bisa melihatmu sepagi ini, hihi, guru lain pasti iri. Oh ya, kau anak baru ya?" tanya guru itu.
"Ah, iya. Maaf terlambat memperkenalkan diri. Aku Fukushima Saya, mohon bantuannya, Sensei," ujar gadis itu sopan.
"Sama-sama. Nah, sudah selesai. Lain kali berhati-hatilah."
Saya dan pemuda itu keluar bersamaan.
"Maaf ya untuk yang tadi. Untunglah kau tidak apa-apa. Aku duluan," ujar Saya lalu berlari pergi. Pemuda itu baru sadar kalau saputangan Saya masih ada padanya.
***
"Hari ini kita akan praktek di ruang musik. Tapi sebelumnya ada seseorang yang akan bergabung dengan kalian. Fukushima, masuklah."
Pemuda itu terkejut, karena gadis yang tadi itu ternyata kini sekelas dengannya.
"Ini Fukushima Saya, pindahan dari Akademi Norikoshi," ujar guru itu. Anak-anak mulai bergumam. Akademi Norikoshi adalah sekolah asrama khusus putri yang cukup prestigius dan siswinya jenius di bermacam bidang. Tapi kenapa anak ini malah pindah ke Seisou di kota kecil di pinggiran seperti ini?
"Salam kenal semuanya, namaku Fukushima Saya, mohon bantuannya," ujar gadis itu. Tak sengaja matanya beradu dengan pemuda yang tadi, lalu dia melambaikan tangannya. Pemuda itu juga melambaikan tangannya, spontan. Beberapa orang menoleh ke arahnya, lalu dia menurunkan tangannya kembali.
"Ah, sepertinya sudah ada yang kau kenal di kelas ini. Duduklah di samping Segawa-kun kalau begitu," kata guru itu.
Saya berjalan menuju meja yang ditunjukkan guru itu, lalu duduk di bangku tepat di samping pemuda itu.
"Hai, ternyata kita bertemu lagi. Aku Fukushima Saya."
"Segawa Hiroki."
"Ayo, sekarang semuanya menuju ruang musik!"
"Fukushima, ayo bareng kami," ajak beberapa anak cewek yang duduk di depannya. Hiroki yang sepertinya ingin mengajaknya bicara mengurungkan niatnya.
Ruang musik itu cukup besar untuk ukuran sekolah swasta di kota kecil itu. Ada sebuah grand piano berwarna hitam di seberang ruangan. Sekilas Hiroki melihat wajah Saya yang entah mengapa terlihat sedih.
"Semua ambil alat musik yang jadi bagian kalian. Untuk yang memainkan piano, kemari."
Beberapa mengambil rekorder, biola, dan alat musik lainnya yang memang jumlahnya cukup untuk semua. Yang memainkan piano ternyata hanya ada dua orang, Saya dan Hiroki. Keduanya tampak kaget.
"Jadi kau juga main piano?" tanya Saya.
"Begitulah," jawab Hiroki singkat.
"Boleh kudengar?" pinta Saya. Beberapa siswi yang lain mendengar permintaan Saya, lalu ikut bicara. "Iya, Hiro-kun, mainkan! Kami ingin dengar permainanmu!
"Hiroki menurut, lalu duduk di depan piano dan menarik napas. Detik selanjutnya terdengar alunan lembut permainan piano Hiroki. Lagunya memang terdengar mudah, tapi ternyata kalau melihat jemari Hiroki, lagu itu sangat susah untuk dimainkan.
Alunan indah nan menghanyutkan itu selesai dengan tepukan tangan anak-anak di kelas. Hiroki tersenyum simpul, lalu mempersilakan Saya untuk maju. Gadis itu menyambutnya dengan sikap hormat gadis bangsawan masa dulu.
Tiba-tiba, ruangan itu dibawa suasana meriah Simfoni 5 karya Beethoven dari gerakan gemulai jari Saya. Saking semangatnya ia, tubuhnya juga ikut berayun seperti jemarinya yang menekan setiap tuts dengan lembut tapi bertenaga. Semua orang terpana melihat kelihaian Saya bermain piano, termasuk Hiroki yang sampai sebelum gadis itu datang, dialah pianis terbaik di SMA Seisou.
Selama lagu itu mengalun, semua bagai terhanyut dengan permainan Saya. Tapi, selama permainan indah yang riang itu, wajah Saya terlihat seperti tengah membendung suatu kesedihan yang bisa dibaca oleh Hiroki. Namun, setelah gadis itu selesai bermain, ekspresi sedih itu hilang entah kemana.
"Hebat sekali, Fukushima. Sepertinya nanti kau bisa berduet dengan Segawa-kun," puji sang guru yang sempat terdiam sesaat karena terpana dengan permainan Saya.
"Ah, tidak. Itu karena aku sering mendengarkan Ayah memainkannya, itu saja," Saya menjawab pujian itu."
Kupikir aku pernah mendengar nama Fukushima sebelumnya. Apa ayahmu seorang pianis?" tanya salah seorang temannya.
"Bukan, bukan, hanya namanya saja yang sama mungkin," sanggah Saya cepat-cepat.
***
Pulang sekolah, Hiroki melihat Saya yang sedang bicara dengan petugas sekolah yang mengamankan sepedanya yang pagi tadi ditinggalkannya di gerbang sekolah.
"Ah, Segawa-kun! Belum pulang?" seru Saya di atas sepeda tuanya.
"Baru saja. Tadi dipanggil guru. Ngomong-ngomong, bukankah sepeda itu remnya blong?"
"Oh, iya. Untung kau mengingatkan," jawab Saya yang langsung turun dari sepedanya, menghindari kecelakaan konyol seperti tadi pagi.
"Aku tahu tempat membetulkan sepeda dekat sini. Mau ikut?" ujarnya. Saya mengangguk.
***
"Permainanmu indah sekali. Aku kagum," puji Saya pada Hiroki ketika mereka berjalan pulang setelah menunggu sepeda Saya yang remnya diperbaiki.
"Itu gara-gara kakekku memaksaku main piano sejak kecil. Kau sendiri, itu permainan yang jenius. Sebentar lagi akan ada festival kebudayaan di sekolah kita, kau harus main di sana," kata Hiroki.
"Sepertinya aku tidak bisa.."
"Saya, sudah pulang?" seru seseorang dari belakang. Saya dan Hiroki berbalik, melihat siapa orang yang ada di sana.
"Ibu?" ujar Saya.
"Sedang apa? Ini teman barumu?" tanya sang ibu.
"Maaf terlambat memperkenalkan. Aku Segawa Hiroki, salam kenal," ujar Hiroki.
"Aku ibunya Saya. Saya, setelah ini kau langsung pulang kan?" tanya ibunya.
"Iya, Bu. Segawa-kun, aku duluan ya. Sampai bertemu di sekolah besok," jawab Saya. Hiroki merasa hubungan keduanya agak aneh, dan dia menjawab salam dari Saya setengah sadar.
"Ya sudah, sampai nanti, Hiroki-kun," dan Saya serta ibunya pun berlalu.
***
"Saya, kemari," kata ibunya setelah gadis itu berganti baju.
"Ada apa?"
"Tadi, di sekolah kau bermain piano ya?" tanya ibunya curiga.
"Teman-teman memintaku untuk memainkannya saat pelajaran musik," jawab Saya.
"Sudah berapa kali Ibu katakan, jangan pernah lagi menyentuh piano! Ibu tak ingin kau jadi seperti ayahmu, seorang pianis yang tidak sadar dengan keadaan keluarganya!" bentak ibu Saya tiba-tiba. Saya mundur selangkah karena kaget.
"Maafkan aku, Bu," ujar Saya takut-takut.
***
Keesokan harinya, Saya dan Hiroki bertemu di loker sepatu.
"Pagi, Segawa-kun," sapa Saya terlebih dahulu.
"Pagi.. Hei, wajahmu, dan tanganmu kenapa?" tanya Hiroki melihat wajah Saya yang dihiasi tiga buah plester luka dan kedua belah tangan Saya yang diperban.
"Ah, tidak apa-apa kok. Hanya jatuh biasa," jawab Saya. Tapi Hiroki bisa tahu kalau gadis itu menyembunyikan sesuatu. Hiroki sendiri heran, kenapa dia bisa tahu hal itu?
Pulang sekolah, Hiroki yang melewati lorong menuju ruang musik mendengar suara piano dari dalam ruangan itu. Penasaran, dia mengintip ke dalam.
Ada Saya di sana. Tapi keadaannya tidak seperti kemarin. Hari ini, tangannya terlihat amat sakit sampai tak bisa menekan tuts dengan benar. Sesekali gadis itu meringis kesakitan dan memegangi tangannya. Namun dia tetap memaksakan diri untuk bermain.
"Saya, sudah hentikan!" seru Hiroki yang menghambur masuk. Saya terlihat kaget dengan kemunculan tiba-tiba Hiroki.
"Segawa-kun?"
Hiroki merebut tangan Saya lalu membuka perbannya. Di balik balutan perban, ternyata tangan Saya terluka. Bukan luka karena jatuh kemarin, ini seperti dipukul oleh sesuatu berulang kali.
"Siapa yang berbuat seperti ini?" tanya Hiroki.
"Tidak, ini salahku, aku tidak kenapa-napa kok," sangkal Saya.
"Katakan! Ini perbuatan siapa!?" tanya Hiroki lagi.
Saya menunduk, dan Hiroki mendengarnya terisak.
"Ibu tidak ingin aku jadi seperti ayah, menjadi pianis," jawab Saya di tengah isakannya.
Mendengar pengakuan Saya, Hiroki mendapat ide untuk menolong gadis itu.
"Ikut aku Saya, kita cari ibumu," ujarnya.
"Untuk apa? Tidak usah, Segawa-kun, aku tidak apa-apa kok," Saya berusaha menghentikan Hiroki, tapi tak bisa.
"Saya, tanganmu tak apa? Kalian mau kemana, hei, Hiro!?" tanya salah satu teman baru Saya di kelas.
"Ke rumah Saya," jawab Hiroki cepat secepat langkahnya. Gadis itu seperti tahu sesuatu, lalu dia mengikuti Hiroki dan Saya dari belakang sambil sibuk mengetik e-mail di ponselnya.
***
"Segawa-kun, sudah! Kita kembali ke sekolah saja lagi!" seru Saya, tapi sudah terlambat karena kini mereka sudah ada di depan pintu rumah Saya.
Tepat saat itu, pintu terbuka dan ada ibu Saya di balik pintu.
"Lho? Saya? Segawa-kun? Sedang apa kalian?"
"Maaf, Tante. Bukannya saya tidak sopan, tapi apa yang sudah Tante lakukan pada Saya!?" tanyanya langsung.
Ibu Saya terdiam, lalu mulai bicara.
"Itu agar Saya tidak bermain piano lagi. Aku membenci piano karena piano merebut orang yang aku sayangi."
"Kenapa Tante harus melakukan hal ini. Kasihan Saya!" seru Hiroki.
"Karena dia tidak mendengarkanku! Sudah kukatakan berkali-kali untuk tidak bermain piano tapi tetap saja dia langgar!"
"Itu karena aku suka, Ibu, bukan karena aku ingin jadi pianis seperti ayah!"
"Tante! Jangan hentikan permainan Saya!" seru seseorang di belakang punggung Hiroki. Ternyata itu gadis yang tadi berpapasan dengan Hiroki dan Saya di gerbang sekolah.
"Karen? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hiroki pada gadis itu.
"Membantumu. Aku sudah mengenalmu sejak lama, Hiro, dan aku tahu benar bagaimana sifatmu. Sepertinya sulit kalau hanya kau sendiri, makanya aku datang membantu," jawab Karen.
"Tante, biarkanlah Saya bermain piano. Dia sangat menyukainya dan kalau Tante melarangnya sama dengan membunuh bakat Saya," ujar Hiroki yang sudah lebih tenang karena dukungan temannya.
"Kalian ini tahu apa? Saya, ini pasti karena kau mengadu pada mereka ya!?" tangan ibu Saya sudah melayang siap menampar wajah manis Saya.
"Sana!!" sahut seseorang.
"Ayah!" seru Saya. Ayah Saya datang.
"Sana! Kau pikir kau sedang apa?" seru ayahnya lalu menarik Saya ke balik punggungnya. Saya terus berlari dan berlindung di balik punggung Hiroki.
"Untuk apa kau kemari!? Aku kan sudah bilang tak ingin bertemu kau lagi," ujar ibu Saya pada suaminya.
"Aku datang untuk memberimu penjelasan, Sana."
"Penjelasan apa lagi!? Sudah jelas kan, kalau kau meninggalkan aku dan Saya hanya untuk piano!?"
"Bukan begitu! Aku lama tidak menghubungi karena selain ponselku hilang di bandara, aku sibuk mempersiapkan diri untuk Concour."
"Lalu, apa hasil latihanmu itu? Kalah?" tanya ibu Saya sinis.
"Aku juara! Aku menang, Sana!"
Mendengar itu, ibu Saya terdiam. Kaget. Tak hanya dirinya, putrinya juga dua temannya terdiam karena kaget.
"Kau, menang? Iseya, kau menang?" tanya ibu Saya.
"Iya, aku menang. Aku menang, Sana!" ujar ayah Saya yang langsung memeluk istrinya yang masih telrihat kaget erat-erat.
"Maafkan aku karena lama tidak memperhatikan kalian," kata ayah Saya.
Saya tersenyum senang karena akhirnya orangtuanya rujuk lagi. Membiarkan orangtuanya berdua, Saya berbalik ke Hiroki dan Karen.
"Terima kasih. Aku tak menyangka, teman-teman di sini begitu baiknya, terima kasih banyak," kata Saya.
"Tak apa, aku senang karena sekarang kau bisa bermain piano lagi dengan bebas," ujar Hiroki.
"Yah, aku juga ikut senang, tapi apa yang akan aku lakukan pada mereka?" tanya Karen sambil mengacungkan jarinya ke balik punggungnya.
Ternyata, Karen tidak sendirian! Dia membawa teman-teman sekelas Saya yang lainnya yang waktu itu ikut mendengarkan permainan piano indah dari Saya.
"Saya! Kami akan mendukungmu terus! Hanya permainan pianomu yang setara dengan Hiro-kun!" seru mereka.
Tak terasa, setetes air mata mengalir dari mata Saya.
***
Dua bulan kemudian. Festival kebudayaan SMA Seisou dikunjungi banyak orang. Apalagi, di malam ini akan ada alunan musik dari pasangan pianis berbakat di kota kecil ini, Fukushima Saya dan Segawa Hiroki.
"Kaichou, sepertinya festival tahun ini sukses besar, walau itu artinya kita harus mengeluarkan anggaran besar untuk beli grand piano untuk acara puncaknya," kata sekretaris Seitokai, dewan siswa SMA Seisou pada Karen yang ternyata menjabat sebagai ketuanya.
"Naoto, itu bukan masalah kan? Yang penting mereka berdua juga berhasil," jawabnya sambil menatap Saya dan Hiroki yang bermain sambil melontarkan senyum pada satu sama lain di bawah sorotan lampu panggung.

prakata...

bismillahirrahmanirrahim. bokutachi no series itu kumpulan cerpen yang berpusat soal kehidupan anak-anak sma di sma seisou yang jadi pusat latar semua chapitre. masing-masing chapitre berdiri sendiri, tapi ada kaitan antar tokoh dan seting cerita yang dijelaskan sepanjang masing-masing cerita. kumpulan cerpen yang pertama ini semoga bisa tamat setidaknya sepuluh cerita yang berbeda tokoh dan masalahnya. sudah ada empat chapitre yang menunggu direalisasikan dalam bentuk tulisan. semoga lancar. amin.

Kamis, 27 November 2008

Jam Karet.. Bukan Budaya yang Sudah Membudaya

Jam karet. Siapa sih yang ga pernah denger istilah itu? Kalo ga ada, suatu keajaiban orang itu bisa tinggal di tempat di mana tidak ada manusia karet berkeliaran (bukan Luffy, oke?).
Di Indonesia kita tercinta ini, jam karet udah bukan hal aneh lagi, rahasia umum malah. Jam karet=ngaret. Ikut nimbrung di agenda kehidupan kita semua. Jarang banget ada orang yang selalu OT alias On Time dalam setiap kehidupannya. Mungkin ada beberapa, tapi tak sebanyak komunitas pecinta jam karet.
Entah apa yang membuat hal ini jadi menjamur seperti sekarang, tapi kalau dilihat dari masing-masing individu, bisa nemuin banyak alasan kenapa mereka ngaret terus.
Abang ane, contohnya. Ngaret ke kampus hanya karena mau nungguin ceweknya. Ato ngelakuin hal yang lain dan bukan melambai-lambai ke arah angkot yang melintas. Waktu ane SMP juga, kalo mau ngadain acara jam sekian, harus diumumin di jarkom dateng berjam-jam sebelumnya. Soalnya ada yang baru berangkat dari rumah jam 9 saat acara di sekolah dimulai jam 9. Ada juga yang pas tinggal beberapa menit lagi sebelum jam kritis baru beranjak.
Banyak manusia yang merasa kalau datang ngaret itu tak masalah. Masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Buat ane, itu pikiran yang SALAH!!! Jadi boleh gitu, ngaret sampe acara mau selesai baru nongol? Apaan itu?
Ada sebuah kalimat dari Ummi ane tercinta, "Orang yang suka terlambat bangun di pagi hari, masa depannya juga terlambat." Ane ga terlalu ngeh sama artinya, tapi entah gimana caranya kata-kata Ummi terngiang terus, dan bikin ane jadi anti ngaret. Ane ga mau masa depan ane telat hanya karena ngaret 3 menit. Mungkin aja 3 menit hasil kalkulasi jam karet ane bisa jadi waktu dimana ane menentukan sesuatu yang amat besar. Gara-gara itu juga, ane kadang suka jadi rada parno kalo masih di jalan lima menit sebelum bel, walaupun jalannya udah deket dari sekolah.
Mungkin orang-orang berbeda dalam menanggapi hal-hal semacam ini. Mereka menganggap kalau waktu mereka masih banyak. Padahal, setiap detik yang kita lewati, kita bisa saja membuat sebuah perubahan dalam diri masing-masing. Jadi, mari semuanya, kita hindari menjadi manusia karet pecinta jam karet yang hobi ngaret..

Sabtu, 08 November 2008

Siswa SMA demen "Mabal"

Apa ada yang salah sama sekolah? Apa ada yang salah sama belajar? Kok bisa, banyak pelajar, mau yang mash pake bawahan merah atau abu-abu demen banget ama yang judulnya mabal. Buat yang masih bingung 'mabal' itu apa, singkatnya mabal itu kabur dari jam pelajaran. Orang belajar dia keluyuran, namanya mabal. Yah, semacam itulah. Tanyakan pada yang ahli..

Kalo dipikir-pikir, emang apa untungnya sih, dari mabal? Ketinggalan pelajaran, hilang skor buat absensi, ulangan jeblok ancur dsb, kalo ketauan guru intinya bisa berabe, jadi rajin nge-date sama guru BK, atau bahkan bisa sampe diskors dan black-list ujian. Racun lah.

Di sekolah ane juga ada yang macem begitu. Sampe setengah kelas kabur dari pelajaran bahasa Indonesia. Ngaku sih, pelajarannya emang membosankan dengan guru yang menurut ane kurang tegas. Mungkin karena itulah anak-anak jadi berani mabal. Coba kalo gurunya macem guru matem atau guru fisika di sekolah ane, killer dunia akhirat, kagak ada yang berani deh, kabur dari kelas.

Yah, ane bukan mau membuka aib, tapi cuma pengen berbagi pemikiran. Mabal, sesuatu yang harus dilarang keras! Setuju sama sekolah yang strict dengan kata ini. Tugas pelajar itu apa? Ya belajar lah! Nah, buat para 'mabal-ers', mereka secara langsung melanggar hakikat mereka (ceile..). Dengan kabur dari kelas, otomatis mereka ngga belajar kan? Paling juga belajar nipu orang yang ngga sengaja papasan terus nanya, "Mau kemana, Kang? Kok ngga di kelas?" Sekolah itutempat cari ilmu biar kita siap menghadapi dunia nyata yang kejamnya ngga kira-kira. Kalo mabal, bisa dapet apa? Udah itu, ancaman ngga naik kelas besar banget. Udah mah mabal, niai ulangan jadi jeblok soalnya ngga tau materi. Parah deh.

Mereka juga menyia-nyiakan uang yang orangtua bayar ke sekolah dengan nama SPP. Orangtua kerja keras buat bayar uang sekolah yang sekarang makin meroket kayak Apollo, anaknya di sekolah dengan entengnya mabal dan kabur ke kantin sekolah. Berkah ngga tuh? Mendingan buat ditabung naik haji kalo anaknya hobi mabal cara profesional mah.

Terus, terus, mabal juga kadang bisa membahayakan diri sendiri! Pernah ada kasus, siswa SMA mabal. Karena dia bawa motor ke sekolah, dipake buat mabal. Taunya, kecelakaan di daerah mau ke Ciater. Jaaangg!! Salah satu dari sekian banyak akibat mabal. Yang lainnya masih banyak lagi. Mungkin pas mabal ada yang keselek makanan waktu ngemil di kantin. Begitu-begitulah.

Buat semua pelajar yang sempet ngintip curhatan ane di blog ini, tolong diingat, mabal itu ngga ada untungnya buat dunia dan akhirat. Malah numpuk dosa dan ngga dapet apa-apa, cuma kejelekan dari semua perbuatan kalian. Kalo ngga suka gurunya, tidur aja di kelas, kalo ngga suka pelajarannya, ya bikin suka lah, karena pasti ada manfaatnya nanti. Tapi kalo ngga suka semua sampai harus mabal di setiap kesempatan, mendingan drop-out aja deh! Ngga ngerti susahnya dunia sih..

Yah, mungkin semua curhatan ane ini bikin seseorang di luar sana tersinggung, tapi ini dunia yang membolehkan kita untuk berpendapat. Jadilah seperti ini.. Mari kita galakkan Gerakan Anti Mabal! GAM!! Ingat, bukan Gerakan Aceh Merdeka, tapi GERAKAN ANTI MABAL!

Yoshaa..!!