Bel tanda masuk sudah berbunyi. Semua siswa SMA Seisou mempercepat langkahnya agar tidak terlambat. Di antara mereka semua, ada seorang gadis yang tengah menaiki sepeda tua membunyikan bel sepedanya berkali-kali sambil berteriak meminta tolong. Rupanya rem sepedanya blong dan dia tak bisa mengendalikannya.
Sementara itu, di ujung jalan sana, ada seorang pemuda yang berjalan tanpa menyadari bahaya di belakangnya.
Brak! Bersamaan dengan suara itu, gadis yang naik sepeda tadi bersama pemuda yang berjalan itu terpental. Si pemuda mengelus-elus tubuhnya yang terbentur sana-sini.
"Maaf!" ujar sebuah suara. Ternyata itu suara gadis yang tadi. Dia mengenakan seragam yang kelihatannya didesain khusus oleh perancang, berbeda dengan seragam SMA Seisou.
"Kau tak apa-apa? Maaf ya, aku tidak bermaksud menabrakmu," ujar gadis itu sambil menyerahkan saputangannya pada pemuda tadi yang menerimanya dengan tangan yang sedikit memar.
"Aku baik-baik saja, kau sendiri?" tanya pemuda itu.
"Aku juga tak apa-apa," jawabnya. Tapi pemuda itu tak bisa ditipu. Lengan dan tangan gadis itu terluka, bahkan ada yang mengucurkan darah. Namun gadis itu hanya tersenyum dan tidak merasakan sakit.
"Kamu ikut aku," pemuda itu dengan cepat menarik tangan gadis itu dan membawanya menerobos kerumunan orang menuju ruang kesehatan.
***
"Maaf Sensei, sepagi ini sudah mengganggu," ujar pemuda itu saat menunggui gadis itu selesai diobati.
"Tak masalah, Segawa-kun. Memang sudah tugasku. Lagipula, aku beruntung bisa melihatmu sepagi ini, hihi, guru lain pasti iri. Oh ya, kau anak baru ya?" tanya guru itu.
"Ah, iya. Maaf terlambat memperkenalkan diri. Aku Fukushima Saya, mohon bantuannya, Sensei," ujar gadis itu sopan.
"Sama-sama. Nah, sudah selesai. Lain kali berhati-hatilah."
Saya dan pemuda itu keluar bersamaan.
"Maaf ya untuk yang tadi. Untunglah kau tidak apa-apa. Aku duluan," ujar Saya lalu berlari pergi. Pemuda itu baru sadar kalau saputangan Saya masih ada padanya.
***
"Hari ini kita akan praktek di ruang musik. Tapi sebelumnya ada seseorang yang akan bergabung dengan kalian. Fukushima, masuklah."
Pemuda itu terkejut, karena gadis yang tadi itu ternyata kini sekelas dengannya.
"Ini Fukushima Saya, pindahan dari Akademi Norikoshi," ujar guru itu. Anak-anak mulai bergumam. Akademi Norikoshi adalah sekolah asrama khusus putri yang cukup prestigius dan siswinya jenius di bermacam bidang. Tapi kenapa anak ini malah pindah ke Seisou di kota kecil di pinggiran seperti ini?
"Salam kenal semuanya, namaku Fukushima Saya, mohon bantuannya," ujar gadis itu. Tak sengaja matanya beradu dengan pemuda yang tadi, lalu dia melambaikan tangannya. Pemuda itu juga melambaikan tangannya, spontan. Beberapa orang menoleh ke arahnya, lalu dia menurunkan tangannya kembali.
"Ah, sepertinya sudah ada yang kau kenal di kelas ini. Duduklah di samping Segawa-kun kalau begitu," kata guru itu.
Saya berjalan menuju meja yang ditunjukkan guru itu, lalu duduk di bangku tepat di samping pemuda itu.
"Hai, ternyata kita bertemu lagi. Aku Fukushima Saya."
"Segawa Hiroki."
"Ayo, sekarang semuanya menuju ruang musik!"
"Fukushima, ayo bareng kami," ajak beberapa anak cewek yang duduk di depannya. Hiroki yang sepertinya ingin mengajaknya bicara mengurungkan niatnya.
Ruang musik itu cukup besar untuk ukuran sekolah swasta di kota kecil itu. Ada sebuah grand piano berwarna hitam di seberang ruangan. Sekilas Hiroki melihat wajah Saya yang entah mengapa terlihat sedih.
"Semua ambil alat musik yang jadi bagian kalian. Untuk yang memainkan piano, kemari."
Beberapa mengambil rekorder, biola, dan alat musik lainnya yang memang jumlahnya cukup untuk semua. Yang memainkan piano ternyata hanya ada dua orang, Saya dan Hiroki. Keduanya tampak kaget.
"Jadi kau juga main piano?" tanya Saya.
"Begitulah," jawab Hiroki singkat.
"Boleh kudengar?" pinta Saya. Beberapa siswi yang lain mendengar permintaan Saya, lalu ikut bicara. "Iya, Hiro-kun, mainkan! Kami ingin dengar permainanmu!
"Hiroki menurut, lalu duduk di depan piano dan menarik napas. Detik selanjutnya terdengar alunan lembut permainan piano Hiroki. Lagunya memang terdengar mudah, tapi ternyata kalau melihat jemari Hiroki, lagu itu sangat susah untuk dimainkan.
Alunan indah nan menghanyutkan itu selesai dengan tepukan tangan anak-anak di kelas. Hiroki tersenyum simpul, lalu mempersilakan Saya untuk maju. Gadis itu menyambutnya dengan sikap hormat gadis bangsawan masa dulu.
Tiba-tiba, ruangan itu dibawa suasana meriah Simfoni 5 karya Beethoven dari gerakan gemulai jari Saya. Saking semangatnya ia, tubuhnya juga ikut berayun seperti jemarinya yang menekan setiap tuts dengan lembut tapi bertenaga. Semua orang terpana melihat kelihaian Saya bermain piano, termasuk Hiroki yang sampai sebelum gadis itu datang, dialah pianis terbaik di SMA Seisou.
Selama lagu itu mengalun, semua bagai terhanyut dengan permainan Saya. Tapi, selama permainan indah yang riang itu, wajah Saya terlihat seperti tengah membendung suatu kesedihan yang bisa dibaca oleh Hiroki. Namun, setelah gadis itu selesai bermain, ekspresi sedih itu hilang entah kemana.
"Hebat sekali, Fukushima. Sepertinya nanti kau bisa berduet dengan Segawa-kun," puji sang guru yang sempat terdiam sesaat karena terpana dengan permainan Saya.
"Ah, tidak. Itu karena aku sering mendengarkan Ayah memainkannya, itu saja," Saya menjawab pujian itu."
Kupikir aku pernah mendengar nama Fukushima sebelumnya. Apa ayahmu seorang pianis?" tanya salah seorang temannya.
"Bukan, bukan, hanya namanya saja yang sama mungkin," sanggah Saya cepat-cepat.
***
Pulang sekolah, Hiroki melihat Saya yang sedang bicara dengan petugas sekolah yang mengamankan sepedanya yang pagi tadi ditinggalkannya di gerbang sekolah.
"Ah, Segawa-kun! Belum pulang?" seru Saya di atas sepeda tuanya.
"Baru saja. Tadi dipanggil guru. Ngomong-ngomong, bukankah sepeda itu remnya blong?"
"Oh, iya. Untung kau mengingatkan," jawab Saya yang langsung turun dari sepedanya, menghindari kecelakaan konyol seperti tadi pagi.
"Aku tahu tempat membetulkan sepeda dekat sini. Mau ikut?" ujarnya. Saya mengangguk.
***
"Permainanmu indah sekali. Aku kagum," puji Saya pada Hiroki ketika mereka berjalan pulang setelah menunggu sepeda Saya yang remnya diperbaiki.
"Itu gara-gara kakekku memaksaku main piano sejak kecil. Kau sendiri, itu permainan yang jenius. Sebentar lagi akan ada festival kebudayaan di sekolah kita, kau harus main di sana," kata Hiroki.
"Sepertinya aku tidak bisa.."
"Saya, sudah pulang?" seru seseorang dari belakang. Saya dan Hiroki berbalik, melihat siapa orang yang ada di sana.
"Ibu?" ujar Saya.
"Sedang apa? Ini teman barumu?" tanya sang ibu.
"Maaf terlambat memperkenalkan. Aku Segawa Hiroki, salam kenal," ujar Hiroki.
"Aku ibunya Saya. Saya, setelah ini kau langsung pulang kan?" tanya ibunya.
"Iya, Bu. Segawa-kun, aku duluan ya. Sampai bertemu di sekolah besok," jawab Saya. Hiroki merasa hubungan keduanya agak aneh, dan dia menjawab salam dari Saya setengah sadar.
"Ya sudah, sampai nanti, Hiroki-kun," dan Saya serta ibunya pun berlalu.
***
"Saya, kemari," kata ibunya setelah gadis itu berganti baju.
"Ada apa?"
"Tadi, di sekolah kau bermain piano ya?" tanya ibunya curiga.
"Teman-teman memintaku untuk memainkannya saat pelajaran musik," jawab Saya.
"Sudah berapa kali Ibu katakan, jangan pernah lagi menyentuh piano! Ibu tak ingin kau jadi seperti ayahmu, seorang pianis yang tidak sadar dengan keadaan keluarganya!" bentak ibu Saya tiba-tiba. Saya mundur selangkah karena kaget.
"Maafkan aku, Bu," ujar Saya takut-takut.
***
Keesokan harinya, Saya dan Hiroki bertemu di loker sepatu.
"Pagi, Segawa-kun," sapa Saya terlebih dahulu.
"Pagi.. Hei, wajahmu, dan tanganmu kenapa?" tanya Hiroki melihat wajah Saya yang dihiasi tiga buah plester luka dan kedua belah tangan Saya yang diperban.
"Ah, tidak apa-apa kok. Hanya jatuh biasa," jawab Saya. Tapi Hiroki bisa tahu kalau gadis itu menyembunyikan sesuatu. Hiroki sendiri heran, kenapa dia bisa tahu hal itu?
Pulang sekolah, Hiroki yang melewati lorong menuju ruang musik mendengar suara piano dari dalam ruangan itu. Penasaran, dia mengintip ke dalam.
Ada Saya di sana. Tapi keadaannya tidak seperti kemarin. Hari ini, tangannya terlihat amat sakit sampai tak bisa menekan tuts dengan benar. Sesekali gadis itu meringis kesakitan dan memegangi tangannya. Namun dia tetap memaksakan diri untuk bermain.
"Saya, sudah hentikan!" seru Hiroki yang menghambur masuk. Saya terlihat kaget dengan kemunculan tiba-tiba Hiroki.
"Segawa-kun?"
Hiroki merebut tangan Saya lalu membuka perbannya. Di balik balutan perban, ternyata tangan Saya terluka. Bukan luka karena jatuh kemarin, ini seperti dipukul oleh sesuatu berulang kali.
"Siapa yang berbuat seperti ini?" tanya Hiroki.
"Tidak, ini salahku, aku tidak kenapa-napa kok," sangkal Saya.
"Katakan! Ini perbuatan siapa!?" tanya Hiroki lagi.
Saya menunduk, dan Hiroki mendengarnya terisak.
"Ibu tidak ingin aku jadi seperti ayah, menjadi pianis," jawab Saya di tengah isakannya.
Mendengar pengakuan Saya, Hiroki mendapat ide untuk menolong gadis itu.
"Ikut aku Saya, kita cari ibumu," ujarnya.
"Untuk apa? Tidak usah, Segawa-kun, aku tidak apa-apa kok," Saya berusaha menghentikan Hiroki, tapi tak bisa.
"Saya, tanganmu tak apa? Kalian mau kemana, hei, Hiro!?" tanya salah satu teman baru Saya di kelas.
"Ke rumah Saya," jawab Hiroki cepat secepat langkahnya. Gadis itu seperti tahu sesuatu, lalu dia mengikuti Hiroki dan Saya dari belakang sambil sibuk mengetik e-mail di ponselnya.
***
"Segawa-kun, sudah! Kita kembali ke sekolah saja lagi!" seru Saya, tapi sudah terlambat karena kini mereka sudah ada di depan pintu rumah Saya.
Tepat saat itu, pintu terbuka dan ada ibu Saya di balik pintu.
"Lho? Saya? Segawa-kun? Sedang apa kalian?"
"Maaf, Tante. Bukannya saya tidak sopan, tapi apa yang sudah Tante lakukan pada Saya!?" tanyanya langsung.
Ibu Saya terdiam, lalu mulai bicara.
"Itu agar Saya tidak bermain piano lagi. Aku membenci piano karena piano merebut orang yang aku sayangi."
"Kenapa Tante harus melakukan hal ini. Kasihan Saya!" seru Hiroki.
"Karena dia tidak mendengarkanku! Sudah kukatakan berkali-kali untuk tidak bermain piano tapi tetap saja dia langgar!"
"Itu karena aku suka, Ibu, bukan karena aku ingin jadi pianis seperti ayah!"
"Tante! Jangan hentikan permainan Saya!" seru seseorang di belakang punggung Hiroki. Ternyata itu gadis yang tadi berpapasan dengan Hiroki dan Saya di gerbang sekolah.
"Karen? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hiroki pada gadis itu.
"Membantumu. Aku sudah mengenalmu sejak lama, Hiro, dan aku tahu benar bagaimana sifatmu. Sepertinya sulit kalau hanya kau sendiri, makanya aku datang membantu," jawab Karen.
"Tante, biarkanlah Saya bermain piano. Dia sangat menyukainya dan kalau Tante melarangnya sama dengan membunuh bakat Saya," ujar Hiroki yang sudah lebih tenang karena dukungan temannya.
"Kalian ini tahu apa? Saya, ini pasti karena kau mengadu pada mereka ya!?" tangan ibu Saya sudah melayang siap menampar wajah manis Saya.
"Sana!!" sahut seseorang.
"Ayah!" seru Saya. Ayah Saya datang.
"Sana! Kau pikir kau sedang apa?" seru ayahnya lalu menarik Saya ke balik punggungnya. Saya terus berlari dan berlindung di balik punggung Hiroki.
"Untuk apa kau kemari!? Aku kan sudah bilang tak ingin bertemu kau lagi," ujar ibu Saya pada suaminya.
"Aku datang untuk memberimu penjelasan, Sana."
"Penjelasan apa lagi!? Sudah jelas kan, kalau kau meninggalkan aku dan Saya hanya untuk piano!?"
"Bukan begitu! Aku lama tidak menghubungi karena selain ponselku hilang di bandara, aku sibuk mempersiapkan diri untuk Concour."
"Lalu, apa hasil latihanmu itu? Kalah?" tanya ibu Saya sinis.
"Aku juara! Aku menang, Sana!"
Mendengar itu, ibu Saya terdiam. Kaget. Tak hanya dirinya, putrinya juga dua temannya terdiam karena kaget.
"Kau, menang? Iseya, kau menang?" tanya ibu Saya.
"Iya, aku menang. Aku menang, Sana!" ujar ayah Saya yang langsung memeluk istrinya yang masih telrihat kaget erat-erat.
"Maafkan aku karena lama tidak memperhatikan kalian," kata ayah Saya.
Saya tersenyum senang karena akhirnya orangtuanya rujuk lagi. Membiarkan orangtuanya berdua, Saya berbalik ke Hiroki dan Karen.
"Terima kasih. Aku tak menyangka, teman-teman di sini begitu baiknya, terima kasih banyak," kata Saya.
"Tak apa, aku senang karena sekarang kau bisa bermain piano lagi dengan bebas," ujar Hiroki.
"Yah, aku juga ikut senang, tapi apa yang akan aku lakukan pada mereka?" tanya Karen sambil mengacungkan jarinya ke balik punggungnya.
Ternyata, Karen tidak sendirian! Dia membawa teman-teman sekelas Saya yang lainnya yang waktu itu ikut mendengarkan permainan piano indah dari Saya.
"Saya! Kami akan mendukungmu terus! Hanya permainan pianomu yang setara dengan Hiro-kun!" seru mereka.
Tak terasa, setetes air mata mengalir dari mata Saya.
***
Dua bulan kemudian. Festival kebudayaan SMA Seisou dikunjungi banyak orang. Apalagi, di malam ini akan ada alunan musik dari pasangan pianis berbakat di kota kecil ini, Fukushima Saya dan Segawa Hiroki.
"Kaichou, sepertinya festival tahun ini sukses besar, walau itu artinya kita harus mengeluarkan anggaran besar untuk beli grand piano untuk acara puncaknya," kata sekretaris Seitokai, dewan siswa SMA Seisou pada Karen yang ternyata menjabat sebagai ketuanya.
"Naoto, itu bukan masalah kan? Yang penting mereka berdua juga berhasil," jawabnya sambil menatap Saya dan Hiroki yang bermain sambil melontarkan senyum pada satu sama lain di bawah sorotan lampu panggung.
Rabu, 10 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar